terkini















Jacob Ereste : Potret Etika & Moral Yang Ambruk

4/05/19, 00:28 WIB Last Updated 2019-04-04T17:28:38Z
Jacob Ereste

Moralitas yang menjadi takaran dan simbol dari kukuhnya rasa taat seseorang pada tuntunan dan ajaran dari agama sungguh rapuh, ketika diuji oleh rasa tamak, rakus dan ego untuk merasa wah. Karena rasa mau enak sendiri, lebih kaya, lebih unggul dan lebih berkuasa dari mereka yang lain, liar tidak terkendali merasuk sendi-sendi ketahanan diri yang mesti dijaga oleh moral dan etika.

Dalam perspektif inilah rasa muak orang banyak menyaksikan perilaku korup dan suap, bukan saja takut disebabkan oleh wabahnya akan menjadi penyakit menular, tetapi juga erat kaitannya pada  kemiskinan serta sulitnya bagi kebanyakan orang untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Boleh jadi pula kejengahan orang banyak pada perilaku korupsi dan suap menyuap itu karena pelakunya adalah mereka yang mendapat amanat rakyat, sehingga sangat besar harapan pada sosok yang bersangkutan bisa menjadi panutan. Tapi justru mengecewakan. Kecuali itu tentu saja sebagai pejabat publik dan figur yang ideal seharusnya tidak sejorok itu perilakunya.

Karena perilaku jahat dan culas seperti sikap mereka yang merendahkan harkat dan martabatnya sebagai pejabat, ikut membuat rakyat semakin berat kecewanya. Itulah sebabnya rakyat berharap terhadap mereka yang mengemban mandat dan ananat rakyat itu harus mendapat hukumsn yang berat -- bahkan patut dikutuk -- karena sikapnya khianat terhadap rakyat sungguh amat sangat menyakitkan.

Bayangkan saja semua pejabat publik itu sudah berijab, berikrar; sumpah mereka kepada Yang Maha Esa serta dihadapan kitab suci sesuai agama masing-masing. Setidaknya mereka telah berjanji untuk menunaikan amanat rakyat. Maka itu ketika amanat rakyat diselewengkan, wajar saja bila sumpah serapah ditumpahkan. Kalau pun saja tidak sempat mengutuk, setidaknya para koruptor serta para pelaku suap itu patut  dihukum seberat -beratnya. Agar perilaku serupa tidak lagi sampai dilakukan oleh mereka yang belum punya kesempatan.

Hukuman pada koruptor serta pelaku suap dan  pengemplang hutang dan pajak harusnya dibuat kapok agar tak sampai dilakukan oleh orang lain. Celakanya, perlakuan terhadap penjahat sejenis ini justru dapat perlakuan manis dari aparatus penegak hukum, karena adanya hasrat untuk mendapat bagian dari sisa-sisa dana yang berhamburan itu. Sedangkan bagi pesakitan sendiri jelas mengharap agar bisa sedikit dilonggarkan dari dakwaan hukum atau bahkan dibebaskan.

Nah, kalaborasi kejahatan serupa inilah agaknya yang membuat tindak kejahatan serupa terus terjadi dan seperti telah menjadi budaya bagi penjabat publik yang punya banyak peluang maupun kesempatan untuk mengko-mersialkan semua otoritas, wewenang dan jabatannya. Pelaku korupsi muncul dimana-mana, mulai dari habitat terpanas sampai habitat yang paling dingin. Yang jadi sasaran korupsi saja infrastruktur, tapi juga dana konsumsi hingga ongkos haji, dan jual-beli jabatan serta percaloan kebijakan atau mengubah peraturan dan perundang-undaagan kita seperti nasibnya konstitasi kita yang dikomersial-kan dengan cara mengamandemen (memperkosanya) hingga 4 (empat) kali itu.

Itulah sebabnya, ketika seorang hendak dilantik menduduki jabatan publik, kawannya sang penyair pada 18 tahun silam memberi hadiah puisi pendek berbingkai kelam; "Sumpah dan Janji Itu Membawamu
Menuju Kemunafikan".

Puisi penyair ini, seperti terbang dibawa angin mengitari ruang parlemen serta balairung istana di dunia entah berantah.

Konon entah siapa pula yang bilang;  Indonesia itu baik-baik saja. Ironisnya aku sendiri pun lupa,   potret wajah yang sesungguhnya itu siapa. Adakah itu siluet dari potret etika dan moral kita yang ambruk ?

Banten, 19 Maret 2019
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Jacob Ereste : Potret Etika & Moral Yang Ambruk

Terkini

Topik Populer