terkini















Selamatkan Lembaga Anti Rasuah Dari Homogenisasi Dan Tirani

5/02/19, 00:22 WIB Last Updated 2019-05-01T17:22:07Z


Fifi Indaryani SH., MH
Ketua Bidang Hukum Dan Ham Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI)

Komisi pemberantasan korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jika menyebut nama KPK tentunya yang ada dalam benak kita adalah sebuah lembaga yang bertugas mencegah dan memberantas korupsi. Sering juga disebut sebagai lembaga yang memerangi perbuatan korupsi, menindaki pelaku korupsi. KPK juga sering disebut sebagai komisi antirasuah.

KPK sebagai lembaga antirasuah sangat dikenal oleh publik, bahkan seringkali disebut sebagai lembaga hero (pahlawan) untuk memberantas korupsi. Simpati publik terhadap lembaga ini tidak diragukan lagi. KPK sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, harapan masyarakat yang dapat menyelamatkan dari ganasnya para pelaku korupsi yang selalu menggerogoti negara ini.

Berbagai slogan juga sangat identik dengan lembaga antirasuah ini. Salah satu slogannya yang paling familiar adalah 'berani jujur itu hebat'.Tentunya slogan yang selalu dikampanyekan oleh KPK bertujuan untuk menanamkan dalam pikiran dan hati sanubari masyarakat bahwa orang yang jujur adalah orang yang hebat, apalagi ditengah krisisnya orang-orang jujur di negeri ini.

Namun, apakah hanya karena KPK selalu banyak dibanjiri pujian itu serta merta menutup mata kita untuk memberi kritik terhadap lembaga anti rasua tersebut? Apakah KPK merupakan lembaga yang cukup sempurna sehingga tidak memiliki keburukan atau kekurangan apapun? yang publik tahu KPK selalu muncul di berbagai media ketika ada pelaku koruptor yang ditangkap oleh penyidik KPK, apalagi belakangan ini selalu muncul operasi tangkap tangan yang sering dilakukan oleh penyidik KPK.

Belum lagi para tersangka yang diduga pelaku tindak pidana korupsi sering kali mengajukan praperadilan terhadap KPK, lalu apa ada yang salah dalam penindakan tindak pidana korupsi? beberapa pertanyaan kerap kali terlintas di benak kita.

Sebagaimana kita ketahui bahwa KPK merupakan lembaga yang diberi keistimewaan oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 huruf (c) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penyelidikan dan penyidikan adalah langkah awal atau prosedur awal untuk mengetahui adanya dugaan tindak pidana korupsi. Menurut Pasal  1 angka 5 KUHAP, penyeledikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-undang.

Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Sejalan dengan hal tersebut Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa segala kewenangan yang berkaitan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
          
Pada tanggal 11 maret 2019 yang lalu KPK melatih 22 calon penyidik yang berasal dari internal pegawai KPK itu sendiri, pada pembukaan tersebut dihadiri oleh beberapa pimpinan KPK. 22 orang tersebut yang awalnya penyelidik kemudian mengikuti pendidikan diketaui merupakan mekanisme perpindahan penyelidik menjadi penyidik. Setelah mengikuti pelatihan dan pelantikan 22 penyidik tersebut, KPK saat ini memiliki total 96 penyidik dengan komposisi 47 penyidik tetap, 47 penyidik dengan komposisi yang bersumber kepolisian dan 2 penyidik PNS.

Penambahan jumlah penyidik yang berasal dari internal pegawai KPK ada indikasi bahwa untuk mengimbangi penyidik KPK yang berasal dari POLRI bahkan ingin mereduksi secara perlahan-lahan penyidik dari POLRI tersebut.

Penyelidik yang mengikuti pelatihan untuk menjadi penyidik harus memiliki pengalaman penyelidikan minimal 2 tahun Padahal jika dibandingkan dengan penyidik POLRI yang masuk ke lembaga KPK adalah anggota POLRI yang sudah memiliki pengalaman sekurang-kurangnya selama 5 sampai 6 tahun.

Ini bisa saja ada kemungkinan atau indikasi Abuse of Power yang dilakukan di didalam Internal KPK yang dilakukan oleh beberapa oknum pegawai dan pimpinn KPK. Hal tersebut tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi yang selalu digembor-gemborkan selama ini.

Sedangkan penyelidik yang bergeser menjadi penyidik sama sekali belum memiliki pengalaman sebagai penyidik. Hal ini kemungkinan bisa berefek dari segi ketidakadilan kepangkatan karena penyelidik yang berpindah ke Direktorat Penyidikan minimal pada posisi Muda Madya yang sebelumnya dari rumpun jabatan Muda Menengah.

Maka otomatis memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada penyidik POLRI yang lebih dulu menjadi penyidik KPK. Hal tersebut memungkinkan adanya diskriminasi treatment terhadap sesama penyidik KPK. Hal tersebut tidak sejalan dengan peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penataan Karier di Komisi Pemberantasan Korupsi dan Peraturan KPK Nomor 03 Tahun 2018 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ada indikasi kepentingan beberapa oknum pegawai dan pimpinan KPK untuk menjadikan direktorat penyidikan menjadi homogen (satu sumber penyidik berasal dari internal). Jika terjadi demikian, apakah memungkinkan akan meningkatkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi atau malah justru sebaliknya berdampak buruk terhadap kinerja KPK?

padahal heterogenitas pegawai KPK sebagaimana pembentuk undang-undang KPK bukan tanpa alasan dan tujuan yang jelas. Undang-undang tentang KPK yang kemudian melahirkan lembaga KPK merupakan salah satu bentuk respon pada masa reformasi yang salah satunya menggolarakan semangat anti korupsi. Atas dasar semangat tersebut maka dibentuklah lembaga KPK dengan pegawai yang bersumber dari berbagai institusi dan berbagai disiplin ilmu.

Adapun alasan pegawai KPK dengan pegawai yang bersumber dari berbagai institusi dan disiplin ilmu adalah dalam rangka mempermudah dan mempercepat proses pemberantasan korupsi checks and balances.

Adanya indikasi kepentingan beberapa oknum pegawai KPK untuk menjadikan direktorat penyidikan menjadi homogen (satu sumber penyidik berasal dari internal tentunya bertentangan dengan semangat pembentuk undang-undang KPK.

Jika upaya homogenisasi benar-benar terjadi maka kemungkinan akan terbangun tirani penegak hukum yang memiliki kewenagan yang luar biasa (penyidik KPK) karena sudah tidak akan ada lagi checks and balances.

Maka sangat besar kemungkinan KPK akan digunakan dan dimanfaatkan oleh sekolompok elit untuk berbagai macam kepentingan. kedepannya, harusnya ada transparansi mengenai perekrutan maupun pengangkatan penyidik KPK, agar pnyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi lebih efektif. Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum adalah tergantung dari 3 hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Berangkat dari hal tersebut maka bukan hnya substansi dan budaya hukum yg penting tetapi struktur hukum, dimana struktur hukum meliputi alat-alat negara (kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan, dan kewenangan lembaga penegak hukum lainnya yang dijamin oleh undang-undang). untuk tindak pidana korupsi sendiri yang paling banyak di soroti publik ada legal substance nya (substansi hukum) sangat jarang disoroti masalah struktur hukumnya padahal peran aparat penegak hukum. sangat berpengaruh dalam pencegahan dan penindakan korupsi.

Tentunya KPK tidak bisa bekerja sendiri tanpa bantuan dari lembaga lain melihat semakin canggihnya modus operandi dari kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime. Jadi untuk mencegah dan menindakinya harus juga dengan langkah-langkah yang ektra dan luar biasa.

Kerjasama dengan lembaga lain dalam memerangi korupsi seiring sejalan dengan amanat UNCAC (United Nation Convention Against Corruption) yang terdapat dalam Article 5 angka 4 (Negara-negara Pihak harus, sebagaimana diperlukan dan sesuai dengan prinsip mental sistem hukum mereka, berkolaborasi satu sama lain dan dengan organisasi internasional dan regional yang relevan dalam mempromosikan dan mengembangkan langkah-langkah pencegahan korupsi.

KPK pun bukan lembaga super power yang mampu mengerjakan semua dengan sendirinya. perbaikan internal KPK harus juga menjadi prioritas utama karena bagaimana mungkin menyelesaikan permasalah-permalahan korupsi yang merjalela diluar sana jika internal sendiri masih lemah. Jangan sampai lemahnya penegakan tindak pidana korupsi diakibatkan oleh perlakuan abuse of power oknum-oknum internal pegawai dan pimpinan KPK Sendiri yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum.

Tentu saja kita semua menunggu bagaimana KPK menanggapi persoalan seperti ini kedepannya, untuk tetap menjaga trust masyarakat.

“Kekuatan menimbulkan sedikit korupsi, tetapi kelemahan menimbulkan lebih banyak Korupsi” – Eric Hoffer
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Selamatkan Lembaga Anti Rasuah Dari Homogenisasi Dan Tirani

Terkini

Topik Populer