terkini

Kemudahan Perizinan Mengusik Keadilan Ekologis

11/07/20, 11:49 WIB Last Updated 2020-11-07T04:54:47Z

Meskipun dalam RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law telah menempatkan ka­ji­an moral atas nama penciptaan lapangan kerja.

Namun, jika telah mempermudah per­se­tujuan lingkungan dan perizinan berusaha kegiatan investasi pada sektor kehutanan, ma­ka alamat akan menghadirkan pengulangan degradasi terhadap lingkungan dan hutan ter­si­sa milik Indonesia saat ini.

Kurang terang bagaimana lagi, pengalaman tentang keru­sak­an dan hilangnya hutan di Sumatera dan Kalimantan sebagai akibat selingkuh di an­ta­ra penguasa dengan pemilik modal besar selama ini.

Lantas, mengapa sekarang pada RUU Cipta Kerja hendak dibuat ugal-ugalan dengan mengadakan pengaturan atas “ke­mu­dahan” tersebut?

Mungkin inilah konsekuensinya, jika kekuasaan pada lini legislatif dan eksekutif suatu negara banyak ditempati oleh para pemilik modal besar.

Omnibus law sebagai sebuah metode untuk menselaraskan materi muatan beberapa pera­tur­an dari berbagai sektor untuk dikumpulkan dalam satu peraturan agar dapat mencapai ke­pentingan negara yang dipandang penting.

Lantas, apa kepentingannya untuk meng­u­bah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Per­lin­dungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah UU No. 19 Tahun 2004, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pen­ce­gah­an dan Pemberantasan Perusakan Hutan ya­ng telah berada pada jalur yang lebih men­dahulukan paradigma “perlindungan” itu?

Ancaman terhadap Lingkungan Hidup dan Kawasan Hutan

Pada pasal pembuka Paragraf tentang Persetujuan Lingkungan yang tertulis dalam RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa “Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, UU ini mengubah, menghapus atau mene­tap­kan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009”.

Senada juga dengan pasal pembuka Paragraf tentang Kehutan­an yang mengatur bahwa “Untuk memberi kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku u­sa­ha dalam men­da­patkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan, UU ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru da­lam UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 19 Tahun 2004, dan UU No. 18 Tahun 2013”.

Jika rumusan norma pada substansi hukum (peraturan hukumnya) sudah mengandung ca­­cat keadilan, maka tentunya akan sangat berpengaruh pada struktur hukum (penegak hu­­kumnya) dan kultur hukum (budaya hukumnya).

Secara “substansi hukum”, dengan pe­rumusan norma yang memberikan kemudahan pada persetujuan lingkungan hidup dan ke­hutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, ma­ka jelas politik pragmatis di negeri ini masih begitu mengandalkan sumber daya alam sebagai modal utama untuk mengejar tar­get pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, instrumen hukum yang digunakan terutama diarahkan untuk mendukung paradigma pembangunan ekonomi yang memihak kepada pe­modal besar dengan cara mengandalkan pendekatan regulasi yang memberikan ke­mu­dahan.

Melalui pemahaman seperti itu, pada garis besarnya akan membuka persaingan be­bas dengan motif laba maksimal dalam penyelenggaraan usaha investasi yang ber­lan­daskan persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha pada sektor kehutanan.

Se­lan­jut­nya dari persaingan bebas tersebut, tentulah dapat menimbulkan ketidakadilan dalam ke­giatan ekonomi, karena tergantung pada kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pe­megang modal besar.

Pihak yang kuat akan cenderung mendominasi untuk memak­si­malkan penguasaan sumber daya lingkungan dan hutan dalam mencapai keuntungan se­besar-besarnya.

Tidak ketinggalan pula akan menyusul potensi konflik, dan pihak yang le­­mah seperti masyarakat adat, apalagi masyarakat suku pedalaman berpeluang diru­gi­kan.

Secara “struktur hukum”, dengan kemudahan persetujuan lingkungan dan perizinan ber­usaha pada sektor kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, maka akan begitu sarat un­­tuk dapat menghadirkan ruang kesempatan (opportunity) bagi adanya praktik korupsi, ka­rena terdapat “kemudahan” akses di antara investor dan pemangku perizinan.

Di­pan­da­ng sedemikian, karena yang berhadapan adalah di antara pemodal yang mampu men­ghadirkan nilai nominal dengan birokrat yang memiliki kekuasaan pada bidang ter­se­but.

Lan­tas, mengapa dalam RUU Cipta Kerja tersebut tidak diatur jika yang me­mo­hon persetujuan lingkungan atau perizinan berusaha pada sektor kehutanan itu adalah ma­sya­ra­kat suku pedalaman?

Mungkin oleh karena masyarakat suku pedalaman itu bu­kan pe­milik modal.

Secara “kultur hukum”, dengan telah diaturnya kemudahan perizinan tersebut, tentunya semakin kentara bahwa budaya hukum dalam memandang lingkungan dan hutan itu a­dalah ditempatkan sebagai sebuah materi.

Lingkungan dan hutan diletakkan dengan bu­da­ya berpikir tak ubahnya seperti mesin. Ling­kungan dan hutan ditempatkan dalam kul­tur hukum yang hanya berdasarkan per­hitungan keuntungan, tidak memikirkan rezeki ge­nerasi nanti ataupun bencana bagi spesies satwa di hutan tersisa.

Kultur lain yang juga da­pat hadir dengan corak ke­mudahan persetujuan lingkungan dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, yakni corak budaya hukum keberpihakan kepada para investor yang membutuhkan lahan bagi keperluan investasi, karena dipandang sebagai subjek pe­n­­dukung pertumbuhan ekonomi negara.

Sementara posisi masyarakat hukum adat, a­pa­lagi masyarakat suku pedalaman yang membutuhkan ruang hidup akan dikesampingkan.

Se­lanjutnya dampak ikutannya yakni berpeluang untuk menghadirkan kultur hukum ya­ng berupa pendekatan kekerasan terhadap warga negara yang lemah.

Politik Hukum yang “Melek Ekologi”

Regulasi lingkungan yang ditetapkan saat ini akan sangat menentukan bagi keberadaan kehidupan anak cucu berikutnya dalam meresapi keadaan lingkungan dan hutan In­do­ne­sia pada masa mendatang.

Memandang lingkungan dan hutan itu bukan sekedar pada pe­rihal nilai, namun harus lebih pada pemahaman tentang hakikat lingkungan dan hutan dalam kehidupan ini.

Filosofi memahami lingkungan dan hutan adalah terletak pada ke­be­radaan sebagai “rumah kita sendiri”, sehingga harus dibuat layak dan nyaman untuk di­diami dan di situlah kehidupan berlangsung dalam paradigma “rumahku surgaku”.

Prinsip, norma hukum, dan sikap tindak yang melestarikan lingkungan dan hutan sebagai ru­­mah sendiri itu hanya dapat hadir dari produk hikmat kebijaksanaan politik hukum yang memadukan kekuatan akal, karsa, rasa, dan intuisi, agar memang dapat merasakan ba­­gai­mana hubungan timbal baliknya dalam sistem kehidupan.

Pada konteks regulasi un­tuk pertumbuhan ekonomi tidak boleh dibiarkan berlaku me­ka­nisme persaingan bebas dalam memperoleh persetujuan lingkungan dan perizinan ber­u­saha pada sektor ke­hu­tan­an, karena dapat dipastikan pihak yang kuat secara modal, kuat se­cara politik dan ke­dekatan dengan penguasa, kuat dengan kemampuan ilmu dan tek­nologi serta sumber da­ya manusianya akan menguasai keuntungan dari lingkungan dan hutan di Indonesia ini.

Untuk itu, mari kita kembalikan dengan kontrak sosial dari berdiri dan terselenggaranya negara Indonesia dalam hal ini Pembukaan UUD 1945, yang salah satu tujuannya yakni untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” itu a­da­lah sebagai sikap untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekologis.

Sementara bentuk regulasi kemudahan pada sektor lingkungan dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut dapat dipandang sebagai kegagapan dalam menyuntikkan se­ma­ngat dasar li­ngkungan hidup dan konservasi kehutanan dalam pembangunan manusia In­donesia se­u­tuhnya, dan tentulah membahayakan keadilan ekologis.

Secara konstitusional, pada ke­seluruhan Pasal 33 UUD 1945 yang berwujud sistem ekonomi kerakyatan dengan mem­pertimbangkan: etika, kemanusiaan, nasionalisme, ke­rakyatan, dan keadilan sosial.

Se­men­tara melalui paradigma “Sistemis Pancasilais”, dalam memandang lingkungan dan hu­tan di Indonesia adalah sama pentingnya dengan merasakan dan mengalami dengan tidak hanya melalui kemampuan akal saja.

Melainkan juga melalui kemampuan religi, perasaan berperikemanusiaan dan beradab ter­hadap lingkungan, memperhatikan plu­ra­lis­me hukum lingkungan, mengenal dan me­ra­­sakan hubungan timbal balik ekologi dan ber­kedaulatan dengan tidak dikendalikan pi­hak asing, serta dengan kemampuan atas intuitif ke­adilan sosial dan keadilan ekologis.

Kemauan politik hukum yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekologis dari ke­ku­asa­an legislatif dan eksekutif hanya dimungkinkan dapat hadir, jika pemangku kekuasaan itu tidak hanya bercara pandang untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara ber­ke­lan­­jutan saja, namun juga telah mencapai tahapan “melek ekologi”.

Dalam artian, me­lalui kebijakan dan regulasi yang dihadirkan, mampu untuk mendorong ter­wujudnya ma­syarakat Indonesia berkelanjutan yang melindungi lingkungan dan hutan di bumi per­tiwi.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kemudahan Perizinan Mengusik Keadilan Ekologis

Terkini

Topik Populer