Kemudahan Perizinan Mengusik Keadilan Ekologis
Meskipun dalam RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law telah menempatkan kajian moral atas nama penciptaan lapangan kerja.
Namun, jika telah mempermudah persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha kegiatan investasi pada sektor kehutanan, maka alamat akan menghadirkan pengulangan degradasi terhadap lingkungan dan hutan tersisa milik Indonesia saat ini.
Kurang terang bagaimana lagi, pengalaman tentang kerusakan dan hilangnya hutan di Sumatera dan Kalimantan sebagai akibat selingkuh di antara penguasa dengan pemilik modal besar selama ini.
Lantas, mengapa sekarang pada RUU Cipta Kerja hendak dibuat ugal-ugalan dengan mengadakan pengaturan atas “kemudahan” tersebut?
Mungkin inilah konsekuensinya, jika kekuasaan pada lini legislatif dan eksekutif suatu negara banyak ditempati oleh para pemilik modal besar.
Omnibus law sebagai sebuah metode untuk menselaraskan materi muatan beberapa peraturan dari berbagai sektor untuk dikumpulkan dalam satu peraturan agar dapat mencapai kepentingan negara yang dipandang penting.
Lantas, apa kepentingannya untuk mengubah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah UU No. 19 Tahun 2004, dan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang telah berada pada jalur yang lebih mendahulukan paradigma “perlindungan” itu?
Ancaman terhadap Lingkungan Hidup dan Kawasan Hutan
Pada pasal pembuka Paragraf tentang Persetujuan Lingkungan yang tertulis dalam RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa “Dalam rangka memberikan kemudahan bagi setiap orang dalam memperoleh persetujuan lingkungan, UU ini mengubah, menghapus atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan terkait Perizinan Berusaha yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009”.
Senada juga dengan pasal pembuka Paragraf tentang Kehutanan yang mengatur bahwa “Untuk memberi kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dan kemudahan persyaratan investasi dari sektor kehutanan, UU ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru dalam UU No. 41 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 19 Tahun 2004, dan UU No. 18 Tahun 2013”.
Jika rumusan norma pada substansi hukum (peraturan hukumnya) sudah mengandung cacat keadilan, maka tentunya akan sangat berpengaruh pada struktur hukum (penegak hukumnya) dan kultur hukum (budaya hukumnya).
Secara “substansi hukum”, dengan perumusan norma yang memberikan kemudahan pada persetujuan lingkungan hidup dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, maka jelas politik pragmatis di negeri ini masih begitu mengandalkan sumber daya alam sebagai modal utama untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, instrumen hukum yang digunakan terutama diarahkan untuk mendukung paradigma pembangunan ekonomi yang memihak kepada pemodal besar dengan cara mengandalkan pendekatan regulasi yang memberikan kemudahan.
Melalui pemahaman seperti itu, pada garis besarnya akan membuka persaingan bebas dengan motif laba maksimal dalam penyelenggaraan usaha investasi yang berlandaskan persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha pada sektor kehutanan.
Selanjutnya dari persaingan bebas tersebut, tentulah dapat menimbulkan ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi, karena tergantung pada kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pemegang modal besar.
Pihak yang kuat akan cenderung mendominasi untuk memaksimalkan penguasaan sumber daya lingkungan dan hutan dalam mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
Tidak ketinggalan pula akan menyusul potensi konflik, dan pihak yang lemah seperti masyarakat adat, apalagi masyarakat suku pedalaman berpeluang dirugikan.
Secara “struktur hukum”, dengan kemudahan persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha pada sektor kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, maka akan begitu sarat untuk dapat menghadirkan ruang kesempatan (opportunity) bagi adanya praktik korupsi, karena terdapat “kemudahan” akses di antara investor dan pemangku perizinan.
Dipandang sedemikian, karena yang berhadapan adalah di antara pemodal yang mampu menghadirkan nilai nominal dengan birokrat yang memiliki kekuasaan pada bidang tersebut.
Lantas, mengapa dalam RUU Cipta Kerja tersebut tidak diatur jika yang memohon persetujuan lingkungan atau perizinan berusaha pada sektor kehutanan itu adalah masyarakat suku pedalaman?
Mungkin oleh karena masyarakat suku pedalaman itu bukan pemilik modal.
Secara “kultur hukum”, dengan telah diaturnya kemudahan perizinan tersebut, tentunya semakin kentara bahwa budaya hukum dalam memandang lingkungan dan hutan itu adalah ditempatkan sebagai sebuah materi.
Lingkungan dan hutan diletakkan dengan budaya berpikir tak ubahnya seperti mesin. Lingkungan dan hutan ditempatkan dalam kultur hukum yang hanya berdasarkan perhitungan keuntungan, tidak memikirkan rezeki generasi nanti ataupun bencana bagi spesies satwa di hutan tersisa.
Kultur lain yang juga dapat hadir dengan corak kemudahan persetujuan lingkungan dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut, yakni corak budaya hukum keberpihakan kepada para investor yang membutuhkan lahan bagi keperluan investasi, karena dipandang sebagai subjek pendukung pertumbuhan ekonomi negara.
Sementara posisi masyarakat hukum adat, apalagi masyarakat suku pedalaman yang membutuhkan ruang hidup akan dikesampingkan.
Selanjutnya dampak ikutannya yakni berpeluang untuk menghadirkan kultur hukum yang berupa pendekatan kekerasan terhadap warga negara yang lemah.
Politik Hukum yang “Melek Ekologi”
Regulasi lingkungan yang ditetapkan saat ini akan sangat menentukan bagi keberadaan kehidupan anak cucu berikutnya dalam meresapi keadaan lingkungan dan hutan Indonesia pada masa mendatang.
Memandang lingkungan dan hutan itu bukan sekedar pada perihal nilai, namun harus lebih pada pemahaman tentang hakikat lingkungan dan hutan dalam kehidupan ini.
Filosofi memahami lingkungan dan hutan adalah terletak pada keberadaan sebagai “rumah kita sendiri”, sehingga harus dibuat layak dan nyaman untuk didiami dan di situlah kehidupan berlangsung dalam paradigma “rumahku surgaku”.
Prinsip, norma hukum, dan sikap tindak yang melestarikan lingkungan dan hutan sebagai rumah sendiri itu hanya dapat hadir dari produk hikmat kebijaksanaan politik hukum yang memadukan kekuatan akal, karsa, rasa, dan intuisi, agar memang dapat merasakan bagaimana hubungan timbal baliknya dalam sistem kehidupan.
Pada konteks regulasi untuk pertumbuhan ekonomi tidak boleh dibiarkan berlaku mekanisme persaingan bebas dalam memperoleh persetujuan lingkungan dan perizinan berusaha pada sektor kehutanan, karena dapat dipastikan pihak yang kuat secara modal, kuat secara politik dan kedekatan dengan penguasa, kuat dengan kemampuan ilmu dan teknologi serta sumber daya manusianya akan menguasai keuntungan dari lingkungan dan hutan di Indonesia ini.
Untuk itu, mari kita kembalikan dengan kontrak sosial dari berdiri dan terselenggaranya negara Indonesia dalam hal ini Pembukaan UUD 1945, yang salah satu tujuannya yakni untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” itu adalah sebagai sikap untuk mewujudkan keadilan sosial dan keadilan ekologis.
Sementara bentuk regulasi kemudahan pada sektor lingkungan dan kehutanan dalam RUU Cipta Kerja tersebut dapat dipandang sebagai kegagapan dalam menyuntikkan semangat dasar lingkungan hidup dan konservasi kehutanan dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan tentulah membahayakan keadilan ekologis.
Secara konstitusional, pada keseluruhan Pasal 33 UUD 1945 yang berwujud sistem ekonomi kerakyatan dengan mempertimbangkan: etika, kemanusiaan, nasionalisme, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sementara melalui paradigma “Sistemis Pancasilais”, dalam memandang lingkungan dan hutan di Indonesia adalah sama pentingnya dengan merasakan dan mengalami dengan tidak hanya melalui kemampuan akal saja.
Melainkan juga melalui kemampuan religi, perasaan berperikemanusiaan dan beradab terhadap lingkungan, memperhatikan pluralisme hukum lingkungan, mengenal dan merasakan hubungan timbal balik ekologi dan berkedaulatan dengan tidak dikendalikan pihak asing, serta dengan kemampuan atas intuitif keadilan sosial dan keadilan ekologis.
Kemauan politik hukum yang berkeadilan sosial dan berkeadilan ekologis dari kekuasaan legislatif dan eksekutif hanya dimungkinkan dapat hadir, jika pemangku kekuasaan itu tidak hanya bercara pandang untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan saja, namun juga telah mencapai tahapan “melek ekologi”.
Dalam artian, melalui kebijakan dan regulasi yang dihadirkan, mampu untuk mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia berkelanjutan yang melindungi lingkungan dan hutan di bumi pertiwi.