HEADLINE
Dark Mode
Large text article












Ingkar Janji Dalam Politik Bukanlah Fenomena Khas Indonesia.

Memahami demokrasi pilkada tidak bisa dilihat secara parsial. Perlu keseimbangan antara substansi dan prosedurnya. Karena pilkada tidak sekadar prosesi atau ritual politik. Lebih dari itu, pilkada menjadi medan pertarungan antar kekuatan politik di masyarakat.

Kaitan antara proses politik pilkada dengan ragam pilihan kebijakan publik (policy choice), terletak pada janji politik atau visi-misi kandidat terpilih, dalam dokumen perencanaan daerah.

Dokumen inilah pada gilirannya menjadi rujukan, untuk menyusun rencana pembangunan daerah dan alokasi anggarannya (RPJMD, RKPD, dan APBD).

Dalam banyak kasus terjadi disparitas antara janji politik semasa debat kandidat, dengan realisasi turunan berbagai dokumen daerah. Karena janji politik tersebut memiliki derajat relevansi yang tinggi, dengan produk kebijakan publik di daerah. Jargon yang diusung pasti menawarkan kebaikan dan terasa nikmat untuk didengarkan.

Cita-cita yang dirumuskan dalam visi-misi hendaknya bukan sekadar utopia, tetapi harus realistis. Harus sesuai dengan kemampuan untuk diwujudkan. Dengan demikian, publik merasakan manfaat keterpilihannya sebagai kepala daerah.

Terlepas dari latar belakang kepala daerah– birokrat, pengusaha atau politisi–yang penting memiliki integritas, untuk menepati visi-misinya. Sebab ingkar janji dalam politik bukanlah fenomena khas Indonesia.

Dengan demikian, secara moral janji adalah apa yang seharusnya atau sungguh-sungguh dipegang untuk direalisasikan. Manakala janji diabaikan maka demokrasi mengalami disconnect electoral. Yaitu, adanya keterputusan relasi antara wakil dan rakyat yang diwakilinya.(Oleh: Victor Ruwayari /Red.Media Advokasi) 

Close Ads