HEADLINE
Dark Mode
Large text article

**Ayam Jago di Kandang Rebutan**



Oleh; YANTO

Ketua Komunitas Wartawan Peduli Sawahlunto

Di sebuah kampung yang terkenal pinggiran namun juga penuh intrik, hiduplah beberapa ekor ayam jago yang punya ambisi luar biasa untuk menjadi penguasa kandang. Kandang itu awalnya damai di bawah kepemimpinan seekor ayam tua yang diminta untuk memimpin dan menjaga kenyamannya.


Muncullah beberapa ayam jago muda yang penuh semangat – atau lebih tepatnya, penuh nafsu. Ada Jago Culas, yang terkenal dengan keahliannya mencuri jagung milik ayam lain dan menyembunyikannya untuk dirinya sendiri. Ada Jago Licik, yang pandai sekali menipu ayam-ayam betina dengan janji-janji kosong agar mereka mematuhinya. Lalu ada Jago Garang, yang bekerja setiap hari hanyalah mematuk dan membuat ayam-ayam yang lebih lemah untuk mendapatkan dedak terbaik.


Ketika aroma kekuatan tercium semakin kuat, ketiga jago ini mulai menunjukkan gigi (atau lebih tepatnya, taji). Mereka saling menyindir di depan umum, menebar fitnah di belakang layar, dan tak jarang terlibat perkelahian sengit di tengah kandang, terus-menerus seperti "Anjing yang menemukan potongan bangkai dan tak mau berbagi".


Jago Culas dengan liciknya mencoba menyogok para ayam betina dengan jagung curian agar mendukungnya. Jago Licik terus menerus berkokok dengan janji-janji indah tentang kandang yang lebih sejahtera (padahal di dalam hatinya hanya ingin menguasai semua lumbung pakan). Sementara Jago Garang, dengan modal suara kokoknya yang paling keras dan taji yang paling tajam, mencoba menakut-nakuti semua ayam lain agar tunduk padanya.


Pemandangan di kandang itu menjadi semakin indah dan tidak sedap dipandang. Debut beterbangan dari pertengkaran, suara kokok penuh ancaman bersahutan, dan para ayam biasa hanya bisa mematuk cacing dengan waswas, takut menjadi korban berikutnya.


Suatu hari, sang ayam tua hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berbisik kepada seekor anak ayam yang polos :

"Lihatlah, nak. Mereka itu seperti anjing yang menemukan bangkai. Bukannya memikirkan bagaimana membuat kandang ini lebih baik, mereka hanya sibuk berebut sisa-sisa yang belum tentu berguna bagi semuanya. Mereka lupa, kandang ini bisa hancur kalau terus-terusan dijadikan ajang memukul hanya demi kekuatan suatu saat."


Anak ayam itu hanya bisa menatap nanar ke arah ketiga jago yang masih terus bertikai, seperti para anjing berebut tumpukan tumpukan jerami usang yang mereka anggap sebagai singgasana.


Pertikaian antar tiga jago semakin menjadi-jadi. Jago Culas terus mencuri dan menyembunyikan sumber daya, membuat ayam-ayam lain kelaparan. Jago Licik, yang tak pernah menepati janjinya, justru semakin sering mengambil jatah pakan untuk dirinya sendiri dan kelompok pendukungnya. Sementara Jago Garang, dengan kekerasan dan ancamannya, menciptakan suasana ketakutan di seluruh kandang.


Para ayam biasa hidup dalam kecemasan. Mereka tak tahu lagi siapa yang harus dipercaya. Pakan lumbung semakin menipis karena dicuri dan dikelola dengan buruk. Keamanan kandang pun terabaikan karena para jago hanya sibuk memikirkan bagaimana menjatuhkan satu sama lain.


Benar saja seperti yang mengukur ayam tua, kandang itu perlahan tapi pasti mulai retak. Struktur bambu yang dulu kokoh kini mulai lapuk tanpa perawatan. Pagar yang dulu melindungi dari bahaya luar kini jebol di beberapa tempat. Kehidupan di dalam kandang menjadi semakin sulit dan tidak nyaman.


Anak ayam yang polos, yang dulu menyaksikan percakapan ayam tua, kini merasakan dampaknya secara langsung. Induknya, seekor ayam betina yang penyayang dan selalu melindunginya, menjadi semakin kurus karena kekurangan pakan. Suatu malam yang gelap dan dingin, seekor musang berhasil berhasil masuk melalui pagar yang jebol. Kekacauan terjadi. Anak ayam itu selamat bersembunyi di balik tumpukan jerami, namun pagi harinya, ia tak lagi menemukan induknya di sisinya. Kandang yang dulu ia kenal aman dan hangat, kini terasa asing dan menakutkan.


Ia melihat sekeliling. Jago Culas masih sibuk menyembunyikan sisa-sisa jagung. Jago Licik masih berkokok tentang janji-janji kosong kepada kelompoknya yang semakin menipis. Dan Jago Garang masih mematuk ayam-ayam lemah yang berani mencari makan di kebunnya. Tak ada satupun dari mereka yang peduli dengan nasib anak ayam yang kehilangan induknya, atau dengan kondisi kandang yang semakin memprihatinkan.


Anak ayam itu termenung, merasakan kesedihan yang mendalam dan kebingungan yang tak berujung. Kandang yang hancur bukan hanya merenggut keamanan dan kenyamanan, tapi juga mengambil sosok terkasih dalam hidupnya. Ia mulai mengerti, perebutan kekuasaan yang didasari oleh keserakahan dan keegoisan hanya akan membawa kehancuran bagi seluruh komunitas, dan yang paling menderita adalah mereka yang lemah dan tak berdaya.


Kandang yang Retak dan Kehilangan yang Menyayat 


...Anak ayam itu termenung, merasakan kesedihan yang mendalam dan kebingungan yang tak berujung. Kandang yang hancur bukan hanya merenggut keamanan dan kenyamanan, tapi juga mengambil sosok terkasih dalam hidupnya. Ia mulai mengerti, perebutan kekuasaan yang didasari oleh keserakahan dan keegoisan hanya akan membawa kehancuran bagi seluruh komunitas, dan yang paling menderita adalah mereka yang lemah dan tak berdaya.


Sementara itu, di sudut kandang yang lain, sang ayam tua hanya bisa memutarnya. menatapnya kosong, memandang nanar ke arah sisa-sisa kandang yang runtuh dan para jago yang masih terbuai dalam perebutan tiada akhir. Ia tak lagi punya tenaga untuk berkokok atau melerai. Hatinya lelah menyaksikan kekisruhan yang tak berkesudahan itu. Yang dia inginkan hanyalah kedamaian, menikmati sisa hidup apa adanya di tengah puing-puing, jauh dari dominasi pikuk nafsu kekuasaan yang telah menghancurkan segalanya.





-






Yanto.Media Advokasi