Skandal "Name Borrowing" di Muratara: BPK Bongkar Kontrak Konsultansi Fiktif Senilai Rp.1 Miliar
![]() |
| Ilustrasi, AI. |
Muratara, MA – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Sumatera Selatan atas Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Tahun Anggaran 2024 mengungkap angka kerugian yang lebih besar dalam kasus praktik curang "Name Borrowing" (peminjaman nama) pada proyek jasa konsultansi.
BPK mencatat bahwa total nilai kelebihan pembayaran Biaya Langsung Personel (BLP) jasa konsultansi di tiga SKPD mencapai Rp1.070.575.122,31. Meskipun sebagian dana, yaitu Rp469.085.000,00, telah disetorkan kembali ke Kas Daerah selama proses tindak lanjut, masih tersisa saldo signifikan sebesar Rp601.490.122,31 yang hingga kini belum ditindaklanjuti.
Bukti Setor Sebagian, Kegagalan Penuntasan Tetap Ada
Angka saldo Rp601,49 juta yang belum kembali ini menjadi fokus kritik keras BPK, sebab penyetoran parsial menunjukkan adanya pengakuan terhadap temuan tersebut, namun pemerintah daerah atau pihak penyedia jasa gagal menuntaskan seluruh kewajiban pengembalian.
Praktik curang "Name Borrowing" sendiri merupakan modus operandi di mana penyedia jasa membayar personel yang namanya dicantumkan dalam kontrak—lengkap dengan kualifikasi dan sertifikat—namun personel tersebut tidak pernah hadir atau bekerja secara substantif di lapangan. Ini merupakan bentuk pembayaran fiktif yang dibayar dari anggaran daerah (APBD).
"Kelebihan pembayaran ini muncul dari personel ahli yang hanya 'gaib' di lapangan, serta personel yang dibayar penuh untuk dua proyek atau lebih secara simultan," bunyi temuan tersebut, yang menegaskan lemahnya pengawasan manajemen proyek dan etika pengadaan di Muratara.
Desakan BPK: Sisa Rp601 Juta Harus Segera Disetor
BPK secara tegas merekomendasikan Bupati Muratara untuk segera memerintahkan Kepala SKPD terkait memproses dan menagih sisa kelebihan pembayaran sebesar Rp601.490.122,31.
Dengan LHP yang diterbitkan pada 24 Mei 2025, Pemerintah Kabupaten Muratara memiliki batas waktu 60 hari untuk menuntaskan tindak lanjut ini. Gagal menagih dan menyetorkan sisa kerugian ratusan juta rupiah ini akan dicatat BPK sebagai kerugian yang belum dipulihkan, dan berpotensi memengaruhi opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) di tahun berikutnya.
Publik menuntut transparansi dan langkah hukum tegas dari pemerintah daerah terhadap oknum penyedia jasa yang terlibat dalam skandal name borrowing senilai Rp1,07 miliar ini. (Red)
