Bacakan Eksepsi, Penasehat Hukum Haji Halim Sebut Dakwaan Jaksa Cacat Hukum
![]() |
| Jan Marinka Ketua Tim Penasehat Hukum Haji Halim |
PALEMBANG, MA - Tim penasehat hukum Haji Halim membacakan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Musi Banyuasin terkait perkara dugaan korupsi pemalsuan dokumen buku atau daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi pengadaan tanah Jalan Tol Betung - Tempino - Jambi tahun 2024 yang menjerat di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (16/12/2025).
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Fauzi Isra, Tim Penasehat Hukum Haji Halim dalam eksepsinya menyebut bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum cacat hukum.
Menurut Penasehat Hukum bahwa Haji Halim didakwa tanpa melalui prosedur hukum acara pidana yang semestinya.
“Klien kami didakwa tanpa pernah diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi maupun sebagai tersangka. Padahal, dalam hukum acara pidana, seseorang harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang didukung minimal dua alat bukti sebelum ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Jan Maringka Ketua Tim Penasehat Hukum Haji Halim, seusai sidang pembacaan eksepsi di Pengadilan Tipikor Palembang.
Jan Maringka menilai, bahwa Jaksa telah melanggar ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan langsung melimpahkan perkara ke tahap penuntutan tanpa proses pemeriksaan yang sah. Bahkan, pihaknya menduga adanya rekayasa dalam penyusunan berita acara dan surat dakwaan.
“Hal ini sangat merugikan hak-hak terdakwa, terutama hak pada tahap pra persidangan. Surat dakwaan juga kami terima dalam waktu yang sangat singkat dan terkesan mengada-ada,” tegasnya.
Atas dasar itu, tim penasihat hukum meminta majelis hakim mengabulkan seluruh eksepsi dan menyatakan dakwaan jaksa tidak dapat diterima.
Jan Maringka kembali menegaskan, keberatan pihaknya terhadap proses hukum yang dijalankan jaksa. Ia menyebut jaksa tetap memaksakan persidangan meski mengetahui kondisi kesehatan Haji Abdul Halim Ali.
“Sejak tahap penyelidikan hingga penuntutan prosesnya sudah sangat lama. Kami telah menjadi penasihat hukum klien kami selama sembilan bulan, melalui surat-menyurat, kunjungan lapangan, hingga pendampingan. Namun jaksa justru mempersulit jalannya persidangan,” katanya.
Dia juga menyoroti kejanggalan dalam surat dakwaan yang menyebut perbuatan pidana berlangsung sejak tahun 2002 hingga Agustus 2025.
“Jaksa perlu memahami konsep tempus delicti. Tidak masuk akal menyebut perbuatan berlanjut selama lebih dari 25 tahun. Selain itu, ada persoalan daluwarsa pidana yang seharusnya juga dipertimbangkan,” katanya lagi.
Menurutnya, perkara ini berawal dari pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Jika terdapat keraguan atas kepemilikan tanah atau tanaman di atasnya, seharusnya ditempuh mekanisme konsinyasi, bukan pidana.
Ia juga menyebut jaksa tidak pernah memeriksa terdakwa sebagai saksi maupun tersangka, serta tidak mampu menyerahkan berkas perkara sesuai perintah Pengadilan.
“Jaksa justru mengalihkan persoalan ke hal-hal lain yang menunjukkan kelalaian mereka sendiri. Selain itu, sistem pemidanaan saat ini juga harus memperhatikan penghormatan terhadap HAM dan hak-hak lansia,” jelasnya.
Jan berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan fakta dan logika hukum yang disampaikan dalam eksepsi, serta memutus perkara dengan kearifan dan rasa keadilan.
Menanggapi eksepsi tersebut, Kasi Intelijen Kejari Muba Abdul Harris Augusto SH MH, menjelaskan bahwa pembacaan eksepsi telah disampaikan oleh penasihat hukum terdakwa.
Dikatakannya, yang menyangkut pokok perkara harus dibuktikan dalam persidangan.
“Tadi penasihat hukum juga menyampaikan adanya pengakuan penerimaan uang, namun mereka berpendapat sudah lewat batas waktu penuntutan. Terhadap eksepsi tersebut, JPU akan memberikan tanggapan sesuai waktu yang diberikan majelis hakim, yakni, satu minggu ke depan,” pungkasnya. (Ariel)
