terkini

Pentingnya Jaminan Perlindungan Hukum Kepada Penyelenggara Pemilu Badan Adhoc, Oleh M. Amin Lubis.

5/22/23, 19:05 WIB Last Updated 2023-05-22T12:05:10Z




SUMUT . Media Advokasi Com -Peran Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) selaku komponen penyelenggara pemilu sangat strategis karena salah satu faktor menetukan sukses pelaksanaan Pemilu. Menentukan kualitas dan jalannya demokrasi yang semakin baik dan akan memperkuat sistem ketatanegaraan menurut konstitusi dalam perjalanan kehidupan bangsa dan negara sebagai upaya membangun negara yang semakin kuat, memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya .

Petugas KPPS / PTPS yang akan direkrut oleh KPU dan BAWASLU Kabupaten Batu Bara lebih dari 14.000 orang dari masyarakat Kabupaten batu Bara. Dalam melaksanakan tugas selaku penyelenggara Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan merupakan suatu kepercayaan sekaligus juga sebagai amanah untuk melaksanakan tugas, kewenanganan dan kewajiban sesuai ketentuan perundang-undangan, melalui proses rekruitmen berdasarkan parameter dan kriteria yang mendasar yakni memiliki kemampuan profesionalisme dan integritas yang tinggi.

Karena sesungguhnya kemampuan profesionalisme dan memiliki integritas adalah syarat mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar bagi penyelenggara pemilu, sehingga pemilu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No 7 tahun 2017 sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta berdasarkan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.

Artinya bahwa penyelenggara pemilu harus mampu melaksanakan pemilu dan wajib menjamin tersalurnya suara rakyat dalam menggunakan aspirasi politiknya melalui pencoblosan disetiap TPS sesuai dengan asas dan prinsip yang terkandung dalam UU No 7 Tahun 2017 serta ketentuan yang sifatnya mengatur operasional dan teknis serta tahapan dalam bentuk PKPU oleh KPU RI dan PERBAWASLU oleh BAWASLU RI.

Profesionalime dan integritas KPPS/PTPS memang dimiliki dan menjadi bagian tidak terpisahkan bagi setiap penyelenggara pemilu yang akan menggerakkan sikap independensi untuk mendukung kinerja dalam upaya memberikan output yang maksimal, maka seharusnya KPPS/PTPS perlu dukungan yang sifatnya bentuk penguatan baik kelembagaan maupun personal sehingga dapat menambah kepercayaan dan meningkatkan eksistensi penyelenggaraan pemilu dalam tataran badan adhoc.

KPPS/PTPS yang memiliki profesionalisme tinggi dan integritas kuat, serta tingkat kepercayaan dan eksistensi lembaga yang mempunyai otoritas dan kewenangan yang luas dalam melaksanakan kegiatan dan tahapan pemilu yakni pemungutan dan penghitungan suara di TPS, maka upaya perlindungan hukum bagi penyelenggara pemilu khususnya KPPS/PTPS, mutlak dihadirkan sebagai suatu kebutuhan yang memberi dampak positif bagi kinerjanya.

Selaku penyelenggara pemilu maka anggota KPPS/PTPS adalah manusia biasa yang mempunyai harkat dan martabat, ditengah keterbatasan kemampuan dan unsur subyektivitas yang dimiliki oleh sebab itu dalam mengemban tugas negara untuk kepentingan bangsa dan negara, maka tentu tidak lepas dari kekurangan, kekhilafan, sengaja ataupun tidak disengaja karena unsur kealpaan, kemungkinan disebabkan faktor eksternal karena intervensi, tekanan dari masyarakat baik perorangan atau kelompok serta perserta pemilu untuk kepentingan politik praktis.

Profesionalisme dan integritas penyelenggara pemilu dalam hal ini KPPS/PTPS sebagai badan adhoc belum memberi jaminan untuk membawa pemilu kualitas dan demokratis, karena ada prasyarat dan faktor lain yang sangat penting yang harus dimiliki dan melekat dan secara langsung memberi proteksi kepada setiap penyelenggara pemilu termasuk KPPS yakni memberi perlidungan hukum, mengingat peran dan posisi penyelenggara pemilu KPPS yang sangat strategis.

Anggota KPPS/PTPS adalah bagian masyarakat dan selaku warga negara dijamin oleh negara untuk mendapatkan perlindungan sebagai bagian dari hak asasi dan dijamin oleh konstitusi yakni kesempatan yang sama dalam hukum sebagaimana tercantum dalam amandemen UUD 1945 Pasal 28 D ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Undang-Undang No 37 tahun 1999 tentang Hak  Asasi  Manusia Pasal (2), telah mempertegas bahwa negara Republik Indonesia mengakui dan menjujung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusian, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Selanjutnya Pasal (30) disebutkan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta memperoleh perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atas tidak berbuat suatu.

Gambaran kongkrit yang secara eksplisit dinyatakan dalam perundang-undangan tersebut diatas, yang merupakan hukum positif dalam sistem hukum Indonesia maka dengan sendirinya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai bagian dari warga negara dalam menjalankan tugas maha penting untuk kepentingan serta kelangsungan kehidupan demokrasi yang akan memperkuat sistem ketatanegaraan kita, maka seyogianya hak-hak subyektif harus dilindungi sehingga dapat menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik, bebas dari rasa takut, memiliki rasa aman, lepas dari tekanan, intimidasi, intervensi terhadap mental maupun fisik.

Apabila hal-hal tersebut diimplementasikan dengan benar maka akan menciptakan suasana kebatinan yang berdampak pada tingkat kepercayaan diri bagi KPPS/PTPS dalam menjalankan tugas dan kewajiban sehingga memberikan motivasi yang kuat, melahirkan ide-ide aktual dan positif, serta mampu menghadapi setiap tantangan dan problem sebagai bagian dinamikan tugas dan kewajiban yang harus diselesaikan dan merupakan tuntutan bagi KPPS/PTPS sebagai penyelenggara pemilu untuk setiap tahapan.

Perlindungan hukum preventif artinya pemerintah lebih bersikap lebih hati-hati dalam pengambilan dan pembuatan keputusan yang bertujuan mencegah tindakan terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan hukum represif yakni perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku  agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya yang bertujuan menerapkan hukum secara konsisten.

Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilu belum mengatur hal –hal yang terkait dengan perlindungan hukum kepada penyelenggara pemilu khusus KPU selaku penyelenggara dan pelaksanan teknis tahapan dan lebih khusus lagi badan adhoc dalam hal ini KPPS/PTPS sebagai ujung tombak penyelenggara pemilu yang langsung berhadapan dengan masyarakat dengan segala kepentingan dan dinamika dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang kadang kala tidak lepas dari berbagai intervensi. Dengan berbagai pola dan bentuk yang mempengaruhi dan mengganggu KPPS/PTPS saat menjalankan tugas.

Tindakan preventif yang harus dilakukan oleh pemeritah adalah adanya politic will dalam bentuk membuat suatu kebijakan yang lansung bersentuhan dengan kepentingan penyelenggaraan pemilu melalui regulasi yang dapat memperkuat eksistensi dan peran KPPS dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya sebagaimana diisyaraktakan dengan ketentuan perundang-undangan.

Melalui tindakan preventif yang dituangkan dalam regulasi maka KPPS/PTPS akan mendapat perlindungan dari berbagai bentuk ancaman, intervensi, intimidasi, dan upaya yang dilakukan oleh pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompok, sehingga hal-hal tersebut secara langsung dan tidak langsung akan mempegaruhi pencapaian kinerja mereka.

Tindakan represif adalah suatu tindakan nyata oleh pemeritah untuk memberikan perlindungan hukum kepada penyelenggara pemilu yakni KPPS/PTPS, dengan melakukan penindakan terhadap siapaun yang melakukan tindakan yang dapat menggagu KPPS/PTPS dalam melaksanakan tahapan pemilu di tingkat TPS. Memberikan perlindungan hukum kepada KPPS/PTPS badan adhoc penyelenggara pemilu adalah suatu bentuk pengayoman kepada setiap warga negara.

Menurut pendapat Satjipto Rahardjo (2000 : 85) bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan ini diberikan oleh hukum.

Pidana  Pemilu  Dalam  Konstruksi    UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah instrumen yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin nasional dan wakil- wakil di Lembaga legislatif yang harus dilaksanakan berdasarkan asas dan prinsip pemilu, dan dalam konstruksi perundang-undangan dimaksud ada pengaturan yang terkait dengan Pidana Pemilu yang terdapat dalam Bab II, memuat 66 Pasal (pasal 448 s/d554).

Pidana Pemilu adalah bentuk eksistensi hukum pidana diluar kodifikasi KUHP, atau yang ditulis diluar KUHP yakni aturan hukum pidana dalam undang-undang bukan hukum pidana tapi sebagai tindak  pidana  administrasi  (administratif penal law), yang  menurut ahli hukum pidana bahwa aturan pidana diluar Kodifikasi KUHP adalah bentuk menyimpangi atau mengecualikan asas-asas hukum pidana, namun dihadirkan sebagai kebutuhan dalam masyarakat.

Menurut Bambang Poernomo (1984 : 18) bahwa hukum penyimpangan diartikan sebagai paradigma yang mengorientasikan hukum pidana sesuai kebutuhan masyarakat yang dalam kepustakaan ilmu pengetahuan dikenal hukum eksepsional.

Pidana Pemilu yakni yang mengatur secara khusus hal-hal tindak pidana pemilu diluar kodifikasi KUHPidana merupakan faktor penting serta suatu kebutuhan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga tujuan pemilu sesuai dengan asas-asas dan prinsip ketentuan perundang-undangan pemilihan umum, sebagai komitmen semua anak bangsa untuk mewujudkan dan melahirkan pemilu yang bersih dan berintegritas sehingga kehidupan demokrasi yang semakin dewasa, untuk kepentingan perjalanan bangsa dan negara.

Pengaturan tindak pemilu dalam UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu suatu hal sangat penting yang mengatur pelanggaran pidana pemilu dan sanksi yang tegas dan jelas bagi setiap orang, namun ironisnya belum ada klausul yang secara kongkrit mengakomodasi terkait dengan penegasan untuk melakukan tindakan preventif maupun represif sebagai bagian perlidungan hukum kepada KPPS/PTPS dikaitkan segala ancaman, intervensi, intimidasi, upaya mempengaruhi dan berbagai godaan dari pihak tertentu untuk kepentingan politik praktis yang mempengaruhi kinerja KPPS dan berdampak pada kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri.

Kedudukan KPPS dalam posisi yang rawan pasti dihadapkan pada situasi dan kondisi tersebut diatas, ditambah dengan beban kerja yang besar dengan waktu yang dibatasi pada tahapan yang memerlukan dan menuntut kesiapan mental dan fisik sehingga profesionalisme dan integritas yang mutlak menjadi bagian dari penyelenggara pemilu lebih khusus KPPS. Belum cukup tapi perlu perlindungan hukum dalam undang-undang pemilu yang memberi penegasan yang lebih komprehensif dan kongkrit melalui pengaturan dalam tindak pidana pemilu.

Kualitas pemilu sangat ditentukan dengan kemampuan KPPS/PTPS dalam menerapkan regulasi terkait dengan teknis dan tahapan pemungutan dan perhitungan suara di TPS, dan semua mekanisme tahapan dan teknis pelaksanaannya. Namun terjadinya Pemungutan Suara Ulang (PSU) pemilu 2019 dibeberapa TPS di Indonesia memberikan gambaran bahwa ada proses administrasi pemilu yang yang keliru dilakukan oleh petugas KPPS/PTPS sehingga melahirkan rekomendasi dari pihak Bawaslu untuk dilakukan PSU, misalnya ada orang atau masyarakat yang memilih atau mendapatkan kertas suara untuk mencoblos meskipun tidak terdaftar di DPT dan tidak memiliki formulir A5.

Dilakukannya PSU berdasarkan rekomendasi Bawaslu memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan Pemilu yakni mengurangi kualitas pemilu, menurunkan kepercayaan masyarakat, menimbulkan dan menambah beban biaya kegiatan pemilu, logistik serta tenaga dan sumber daya manusia.

Namun terjadinya PSU dengan kasus tersebut diatas kadang kala bukan disebabkan petugas di TPS keliru dan kurang teliti dalam menerapakan regulasi terkait proses adminitas pemilu namun disebabkan dengan faktor ekstenal yakni ada intervensi, dari pihak lain masyarakat disekitar TPS, bahkan kemungkinan aparat desa, adanya berita hoax yang berkembangnya namun diyakini suatu yang benar dalam masyarakat, dan juga kemungkinan petugas pengawas TPS, walaupun petugas TPS sudah menolak dan memahami bahwa hal tersebut suatu yang tidak sesuai dengan regulasi.

Dengan demikian maka profesionalisme dan integritas adalah satu kesatuan yang harus melekat kepada petugas KPPS/PTPS, namun harus didukung bentuk perlindungan hukum melalui regulasi untuk memberikan penguatan peran dan eksistensi KPPS sebagai upaya pencegahan, dan juga upaya penindakan melalui pemberian saksi pidana kepada siapapun yang melakukan hal-hal tersebut diatas sehingga kita semua bertanggung jawab terhadap suksesnya penyelengaraan pemilu pada 14 Februari 2024.

(Suyanto)

Penulis Adalah Ketua KPU Kabupaten Batu Bara

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pentingnya Jaminan Perlindungan Hukum Kepada Penyelenggara Pemilu Badan Adhoc, Oleh M. Amin Lubis.

Terkini

Topik Populer