terkini

Kenapa Berbuat Sosial Itu Sulit?

2/13/19, 22:34 WIB Last Updated 2019-02-14T04:12:21Z
Ismail M. Adam
"SOSIAL" adalah sepatah kata yang tidak asing lagi di Aceh yang konon fanatik beragama, mulai dari kaum awam sampai kalangan intelektual, mulai yang miskin sampai yang kaya raya tentu saja sudah hal yang biasa dalam menerima dan berbuat yang namanya "sosial."

Seorang calon legislatif atau calon kepala daerah yang akan maju menginginkan kursi yang diinginkannya itu tentu tidak lepas dari rasa, sikap dan perbuatan yang teramat sosial. Dia datang ke rumah-rumah penduduk sambil memberikan apa yang bisa diberikan untuk membantu yang terasa dibutuhkan oleh si anu. Kebetulan sang calon memasuki sebuah rumah si miskin yang di rumahnya tidak ada beras, lalu disuruh ajudannya untuk membeli segoni beras untuk diberikan kepada simiskin tersebut dan melibatkan media untuk meliput agar terpublis ke publik ikhwal rasa sosialnya.

Seorang ibu yang memiliki sedikit lebih hartanya dia menyumbangkan hartanya untuk pembangunan masjid dalam bentuk material (200 sak semen) dan menyuruh panitia mencatat namanya dipapan pengumuman daftar penyumbang, agar namanya akan disebut panitia saat pengumuman Kas Masjid untuk didengar semua jamaah yang hadir.

Sementara ada lagi penyumbang lain yang senantiasa melihat apa kekurangan tetangganya dan orang-orang yang sempat ditemui saat di perjalanan, tapi dia tidak membertahukan siapa namanya bagi penerima sumbangannya yang belum kenal dengannya, "Saya ini hamba Allah pak, harta ini milik bapak, cuma dititipkan melalui saya," kata penderma itu sambil menyerahkan bingkisan atau amplop berisi uang kepada simiskin. Bahkan ketika dia menyerahkan sumbangan dalam bentuk uang senilai 1000 sak semen kepada masjid, juga mohon ditulis saja dari "Hamba Allah."

Terlepas dari semua itu, ada lagi seorang dermawan yang sudah puluhan tahun mengumpulkan hartanya untuk disumbangkan ke orang miskin. Tapi dia memikirkan apa yang mesti disumbangkan yang tidak akan menjadi efek lingkungan dan merendahkan harga pasar atau merugikan orang lain. Umpamanya, saat dia mau menyumbang beras kepada salah satu kampung yang mencukupi selama satu bulan. Tapi dia juga merasa kasihan kepada penjual beras di pasar yang secara tidak langsung telah mengurangi rezeki penjual di pasar (pedagang) selama satu bulan. Satu sisi dia menolong orang tapi disisi lain telah dia korbankan pedagang pasar.

Dari semua cuplikan di atas, kita bisa mengambil intisari yang bahwa rasa  "Sosial" itu sangat tergantung jiwa dan kriteria seseorang. Dan kita tidak bisa pungkiri, semakin lamanya umur dunia, semakin hilang rasa sosial manusia yang benar-benar ikhlas berbuat sosial tanpa pamrih. Baik itu dalam bentuk lahiriyah maupun bathiniah. Malah jika dipersentase, sungguh yang bersifat sosial tanpa pamrih, jika dihitung persentasenya sangat rendah.

Seorang caleg atau calon pilkada kenapa bisa berbuat sosial saat dia butuh suara di pemilihan untuk sebuah kursi jabatan, tapi kenapa terasa berat melakukannya kembali saat dia sudah ada kursi? Disinilah nampak rasa sosial itu tidak bisa teralisasi dengan sempurna tanpa pamrih dan jiwa yang belum terpanggil sebagai yang sosial.

Kesimpulan.
Rasa sosial yang hakiki adalah pembawaan/cirikhas, prinsip dan rasa yang memang telah melekat di hati seseorang dengan tidak tergantung dia itu pejabat, pengusaha atau masyarakat biasa.

Opini tercipta setelah dialog sesa'at bersama Kepala Dinas PU Pidie Jaya, Bahrom Bhakti.

Penulis. Ismail MA.
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kenapa Berbuat Sosial Itu Sulit?

Terkini

Topik Populer